Wellcome!!

Welcome!

23 Oktober 2011

-_____-

Sumpah, gue terkena FRUSTRASI BERAT. Why? Karena gue susah nyari cerita-cerita temen SMP gue yang dulu bagus buat dimasukin dan dipublikasikan. Well, ini juga karena sifat pelupa gue yang..., umm, yah, akut juga sih. Actually ada empat cerita yang pengen gue masukin, cuma... gue takut isinya salah. Jadi, yah, belum bisa dikash tau ke kalian semua. Sorry Guyss!!! TT_TT

22 Oktober 2011

Iseng Gan... ^_^

Promosii
Anak Calau
Satu
Calau, Sumpur Kudus, Sumatera Barat
05.00
Fajar belum lama menyingsing, dan kabut pun belum sepenuhnya beranjak, masih tergolek bersama dengan rerumputan yang basah. Cahaya sang surya menampilkan sinarnya dengan perlahan-lahan pada sungai Batang Sumpur. Saat itu Salma, seorang anak yatim-piatu, baru terbangun dari tidurnya.
“Etek Bainah kemano, yo?” gumamnya pelan.
Salma lalu merapikan tempat tidurnya, yang hanya dipan sederhana dengan bantal yang terbuat dari akar-akaran pohon.
Kemudian Salma berjalan menuju dapur. Rupanya Etek Bainah sedang membuat kopi untuk Oncu Sanusi. Etek Bainah melongo melihat kehadiran Salma. Karena Salma anak yatim-piatu, walhasil ia dititipkan ke Etek Bainah dan Oncu Sanusi.
Ang rupanyo sudah bangun.” Etek Bainah meletakkan gelas kopi tersebut.
Iyo, dan perut den sedikit lapar,” balas Salma.
“Ambillah singkong rebus di wakul untuk sarapan,” jelas Etek Bainah.
Salma berjalan kegirangan setelah mendengar nama camilan favoritnya sudah disiapkan oleh Etek Bainah. Salma mengambil selembar daun pisang, kemudian meletakkan dua buah singkong rebus yang ditaburi gula pasir.
“Uwaah! Sedap ini!” serunya. Etek Bainah hanya mengembangkan senyum.
“Sedap sih, sedap. Tapi ang jangan lupa shalat,” nasihat Etek Bainah.
Salma berhenti mengunyah singkongnya, “Alamak! Den lupa!”
Tanpa berbasa-basi, Salma langsung berlari ke sumur di halaman rumahnya, menimba air, lalu menggunakan airnya untuk berwudhu. Kemudian, ia berlari lagi menuju kamarnya untuk shalat Shubuh. Saat ia kembali ke dapur, Etek Bainah sudah ditemani oleh Oncu Sanusi.
Ang lupa shalat Shubuh, yo?” tanya Oncu Sanusi.
Salma menggaruk-garuk kepalanya, “Iyo, tetapi itu bukan suatu kesengajaan.”
“Tentu.”
Mereka bertiga melanjutkan sarapan pagi mereka dengan riang, dan sesekali diiringi canda tawa.
@@@
Den pergi dulu. Assalammu ‘alaikum,” ucap Salma. Ia lalu mencium tangan Etek Bainah dan Oncu Sanusi.
“Wa ‘alaikumsalam. Belajar yang benar, yo!” nasihat Oncu Sanusi.
“Pasti!”
@@@
Sekolah Rakjat adalah tempat Salma dan kawan-kawannya menuntut ilmu. Sekolah Rakjat masa itu hanyalah sebuah rumah panggung yang sederhana. Kelas-kelasnya pun lebih sederhana. Kelas Salma hanya berisikan, enambelas pasang meja dan kursi, papan tulis hitam, kapur putih, kapur warna-warni dan penghapus kapur bersih.
TENG! TENG! TENG!
Bel tanda masuk berbunyi. Suara sorak-sorai para murid terhenti setelah mendengar suara ketukan sepatu Pak Rahman, wali kelasnya kelas Salma.
“Assalammu ‘alaikum,” ucap Pak Rahman.
“Wa ‘alaikumsalam!” balas para murid.
“Nah, mau ambo ceritakan sesuatu?” ajak Pak Rahman.
“Mau!”
“Begini, sewaktu ang liburan kemarin, ambo pergi ke sebuah hotel di Padang—“ jelas Pak Rahman yang dipotong oleh pertanyaan Pi’i, panggilan akrab Syafii.
“Hotel itu apo, Pak?”
Pak Rahman agak kebingungan. “Hotel itu, macam penginapan. Tapi bukan rumah panggung macam ini. Di Padang, banyak rumah tapi bukan rumah panggung macam di Calau ini,”
“Oooh…,”
Iyo, kemudian ambo lihat sebuah tombol untuk membuat sebuah bola lampu menyala. Nama tombolnya sakelar. Kalau itu—umm, sakelar ditekan, nanti bola lampunya akan menyala. Bisa menyala karena ndak pakai korek atau dukun, tapi pakai energi listrik! Jadi enak kan? Kalau gelap, tinggal tekan. Nyala,” jelas Pak Rahman.
“Jadi, kapan bola lampu ada di Calau? Dan energi listrik itu juga? Den mau tau,” tanya Makdiah, pemuda bertubuh gempal yang hobinya makan telur balado.
“Entahlah. Ambo ndak tau. Tergantung pemerintah kota mau kirim apa ndak,” jawab Pak Rahman.
“Baiklah, anak-anak! Ceritanyo ambo selesaikan dulu, besok kita lanjutkan. Sekarang, ambo akan menjelaskan tentang sejarah para wali songo, atau wali sembilan yang asalnyo dari ranah Jawa,” lanjutnya.
Pak Rahman mulai menceritakan asal-usul wali sembilan.
@@@
TENG! TENG! TENG!
Bel tanda pulang sudah dibunyikan. Saat Salma keluar dari kelasnya, ia melihat Oncu Sanusi menjemputnya di depan, dengan si Julai, kuda kesayangan Salma dan Oncu Sanusi. Salma berlari menuju Julai, lalu membelainya.
“Bagaimana pelajaran hari ini?” tanya Oncu Sanusi.
“Bagus! Den angkat empat jempol! Tapi, den agak kesal, bana ditanya siapa penemu bola lampu! Kata Makdiah, namanya Thomas Edison, tetap saja den susah nyebutinnyo!” jelas Salma.
Oncu Sanusi tertawa kecil. “Baiklah, sekarang mari kita pulang.”
Salma naik ke belakang Oncu Sanusi dan meluncur pulang ke rumah.
















Dua
Siapo namo presiden pertama di Indonesia?”
“Soekarno Hatta.”
Siapo putra Bimasena dan raksasa Harimbi dalam kisah Mahabrata?”
“Gatotkaca.”
Siapo penemu bola lampu dan telegraf?”
Salma menjawabnya dengan sedikit kikuk, “Tho, Thomas Edison.”
“Alhamdulillah, ang lulus, Salma!” seru Pak Rahman.
Salma melongo sesaat. “Alhamdulillah!”
Salma mencium tangan Pak Rahman lalu berlari ke luar ruangan ujian lisan. Tak ayal, teman-temannya ikut menyoraki Salma. Makdiah, Syafii, Nilam, Hasan, Cahya, dan Rasid, ikut meloncat-loncat girang.
Tiba-tiba si Bimo, Azra’i, Suwardi, dan Naksan, siswa pindahan dari kota Padang mendekat.
“Heleh! Ang orang kampuang bisa apo? Lulus Sekolah Rakjat saja bangga!” ledek Suwardi.
Makdiah mendekati Suwardi.
“Hei, Anak kemarin sore! Ang semua ngajakin den bacakak?!” tanya Makdiah tak kalah lantang.
Giliran Bimo menjawab, “Iyo! Macam mana? Ang pada takut?”
Ndak! Den ndak takut sama kalian! Ayo, kita ke pinggir sungai!” ajak Makdiah.
Salma, Nilam dan Cahya yang wanita hanya bergetar di pinggir lapangan. Salma mendekati Syafii, teman karibnya.
“Pi’i, ang juga mau ikut bacakak? Pikirkan keselamatan ang!” pinta Salma.
Den ndak bisa, Salma. Den harus ikut, anak-anak kota ini harus dilayani,” jawab Syafii.
Salma mundur kembali ke barisan wanita. Makdiah, Syafii, Hasan dan Rasid berjalan menuju pinggir sungai. Nilam yang sedari tadi ketakutan berlari ke ruang guru dan melaporkannya pada Pak Rahman.
Apo?! Mereka pada bacakak? Ya Allah!” seru Pak Rahman.
Pak Rahman kemudian berlari menuju pinggir sungai, sementara Nilam, Salma dan Cahya mengikuti.
@@@
“Hei!! Ada apo? Kenapo ang pada bacakak?” seru Pak Rahman. Ia melihat lebam di muka anak muridnya.
Syafii mendekati Pak Rahman. “Ini, Pak. Anak-anak kota sombong ini menghina den dan yang lainnya!”
“Masya Allah, dihina macam apo?” tanya Pak Rahman.
Katanyo, anak kampuang macam kito ndak bisa apo-apo!” jawab Rasid.
“Betul tuh, Pak!” Makdiah dan Hasan mengamini.
“Betul, ang menghina mereka?” tanya Pak Rahman pada Bimo, Azra’i, Suwardi, dan Naksan.
“Umm, iyo, Pak. Kami menyesal,” jawab Bimo, si ketua.
“Kalian semua lebih baik pulang! Ayo, pulang!” perintah Pak Rahman.
Para anak lelaki berjalan mengambil tas kulit mereka dan berjalan pulang. Syafii mendekati Nilam dan Salma, juga Cahya.
“Makasih, kalau ndak ada kalian, mungkin den sudah memar-memar.”
Samo-samo, ndak usah dipikirkan, Pi’i. sebaiknya ang pulang ke rumah. Nanti Datuak mencari,” jelas Salma seraya mengembangkan senyum.
Muka Syafii langsung memerah padam setelah diberi senyum oleh Salma. Syafii lalu berlari meninggalkan para wanita.
Den pulang duluan, yo?” ujar Salma.
Den juga.” Nilam dan Cahya mengamini.
@@@
Di rumah Syafii…
“Masya Allah! Pi’i, kenapo ang bisa memar-memar begini?” tanya Mak Lamsiah, ibunya.
“Umm, ambo bacakak, Mak.”
Bacakak?
Iyo, si Bimo dan kawannyo menghina ambo, Makdiah, Hasan dan Rasid, Mak.”
Alamak…, ya sudah, ang mandi dulu sana!” perintah Mak Lamsiah.
“Baik, Mak.”
@@@
Hari ini hari Jum’at. Di sekolah, hari Jum’at sampai Minggu libur. Pukul lima pagi Salma telah melakukan berbagai macam aktivitas. Ia sudah shalat, sarapan, bahkan mandi. Tiba-tiba, Syafii, Nilam, dan Hasan datang ke rumahnya.
“Assalammu ‘alaikum!” seru Syafii, Nilam dan Hasan.
Salma tergopoh-gopoh ke depan. “Wa ‘alaikumsalam, ada apo?”
“Kita mau piknik. Ang mau ikut ndak?” tanya Nilam.
“Sebentar. Den minta izin dulu sama Etek Bainah,” jawab Salma.
“Oke, jangan lama-lama!” pesan Hasan.
Salma berlari ke dapur, lalu mengambil rantang. Ia mengisi rantang tersebut dengan gulai ayam, telur balado, dan lemang. Etek Bainah yang melihatnya tertegun lalu bertanya.
Ang mau kamano?”
Den mau piknik sama Pi’i, Nilam dan Hasan. Boleh kan, Etek?”
“Boleh, pikniknyo kamano?”
“Biasa, di pinggir sungai, di bawah pohon mangga milik Pakoncu Ma’rifah.”
“Umm, bolehlah. Jangan pulang malam!”
“Oke, Assalammu ‘alaikum,”
“Wa ‘alaikumsalam.”
Salma berlari ke halaman rumahnya seraya membawa rantang. Hasan dan Syafii penasaran ingin melihat isinya. Mereka lalu berjalan menuju pinggir sungai Batang Sumpur.
@@@
“Kita sudah sampai!” seru Hasan senang.
Hasan dan Syafii langsung menggelar tikar. Lalu, Nilam dan Salma mengeluarkan perbekalan mereka. Salma membawa lemang, telur balado dan gulai ayam. Sedangkan Nilam membawa bubur dengan ikan yang sudah diasap.
“Uwaah! Sedaap!” komentar Syafii.
“Hehehehe,” Salma dan Nilam hanya terkekeh.
Mereka berempat menghabiskan semuanya untuk makan siang. Setelah kenyang, Syafii dan Hasan berenang, sementara Salma dan Nilam hanya bermain-main dengan ikan di sungai, dan sesekali mencemplungkan kaki mereka, lalu tertawa-tawa. Masa kecil yang indah, walau sesekali diiringi oleh kesedihan yang melanda.
Alamak! Hari sudah gelap. Den mau pulang,” pinta Nilam.
Iyolah, siapa juga yang mau malam-malam di tepi sungai,” Syafii mengamini.
Akhirnya, mereka merapikan barang-barang yang mereka bawa. Kemudian mereka berjalan menuju rumah masing-masing. Salma yang sedari tadi diam saja akhirnya membuka mulut.
“Pi’i, den boleh tanya sesuatu ndak?”
“Eh? Oh, tentu,” balas Syafii.
“Apakah ang besok bisa pergi ke tepi sungai, sendirian?”
“Umm, den ndak tahu. Nanti den tanyakan sama datuak,”
“Oke, den cuma bertanya.”
@@@
Keesokan harinya, seperti janji Salma, ia mendatangi sungai Batang Sumpur, menunggu putra kepala Nagari Sumpur Kudus yakni Datuak Zaenal, Mohammad Syafii. Ia menunggu di tepi sungai seraya memandang semua karya ciptaan Yang Maha Kuasa. Ia melihat lembah Bukit Barisan yang gagah menaungi desa tempat tinggalnya, desa Calau. Salma sesekali menghembuskan nafasnya.
TOPLAK! TOPLAK!
Suara sepatu kuda milik si Hitam, kuda milik Datuak Zaenal yang sering dibawa oleh Syafii. Salma menengok ke belakang. Benar saja, seorang pemuda berusia sebelas tahun, bertubuh kurus, bertangan kecil namun kuat, berwawasan luas dan sangat berbudi mulia sedang mengikat kudanya di pohon mangga milik Pakoncu Ma’rifah.
“Jadi?” tanya Syafii.
Salma menggaruk-garuk kepalanya, “Yah, den kesini untuk mengucapkan salam.”
“Salam apo?”
“Pi’i, besok lusa den dan Oncu Sanusi akan pergi dari sini menuju ranah Jawa, aku akan disekolahkan disana! Di sebuah pondok pesantren,” jelas Salma seraya menahan tangisnya.
“Lalu, kenapo ang hanya memanggil den? Bukannyo teman ang banyak?” tanya Syafii.
“Semua teman sudah den kasih tahu. Apalagi Hasan dan Nilam. Mereka adalah orang yang paling duluan den kasih tahu. Makanyo kemarin Hasan ajak ang piknik disini, kan?”
“Ta…, tapi. Seharusnya ang kasih tahu den duluan!”
Ang ndak mengerti perasaan den. Den juga ndak mau pindah dari Calau ke Jawa! Oncu Sanusi yang menyuruh den! Seandainya ang mengerti perasaan den...,” jelas Salma.
“Baiklah. Den punya satu syarat buat ang sebelum meninggalkan Calau.”
Salma tertegun. “Apo?”
Ang harus mohon diri sama semua penduduk di Calau!”
Den setuju. Tapi, den mohon, ang jangan lupakan den.”
“Tentu,” balas Syafii seraya tersenyum.
@@@
Lusa harinya…
Sesuai dengan janjinya, Salma dan Oncu Sanusi mohon diri pada seluruh masyarakat di Desa Calau. Datuak Zaenal, Mak Lamsiah, Etek Bainah, Syafii, Hasan, Rasid, Nilam dan Cahya serta warga lainnya menangis sesenggukan. Salma pun tidak kuat menahan tangisnya. Tangisnya pun pecah. Ia lalu naik ke dalam sebuah kereta kuda. Salma dan Oncu Sanusi pun meluncur menuju pelabuhan. Sebelum Salma naik ke kereta kuda, Syafii dan Nilam bergerak maju.
“Umm, ang jangan lupakan awak, ya?” tutur Syafii
“Tentu.”
“Dan…, ang harus rajin kirim surat, kirim telegram atau telepon den dan yang lainnya!” seru Nilam.
Iyo, den mengerti,” balas Salma.
@@@
Sesampainya di pelabuhan, Salma dan Oncu Sanusi naik ke sebuah kapal laut yang lumayan besar. Yah, walaupun besarnya tidak seperti kapal laut sekarang. Tetap saja, Salma yang masih tergolong muda perutnya diaduk oleh mabuk laut.
Beberapa hari kemudian…
“Uwaah! Ini yang namanyo ranah Jawa!” celetuk Salma.
Oncu Sanusi mengangguk. “Iyo, ini ranah Jawa. Nanti ang akan awak sekolahkan di Pondok Pesantren Darul Qur’an.”
“Pondok pesantren? Dimano Oncu?” tanya Salma.
“Di Ngampel.”
Salma turun dari kapal laut dan meneruskan perjalanan dengan naik sebuah bis menuju Ngampel. Sesampainya di Ngampel, Oncu Sanusi bergerak mencari penginapan untuknya, kemudian mencari Pondok Pesantren Darul Qur’an. Oncu Sanusi merapat ke sebuah pagar yang terdapat pintu di depannya.
“Assalammu ‘alaikum.” Oncu Sanusi mengucapkan salam.
“Wa ‘alaikumsalam. Ada keperluan apa ya, Pak?” tanya si petugas.
“Ini Pondok Pesantren Darul Qur’an?” Oncu Sanusi balik bertanya.
“Ya, betul. Bapak ingin mendaftar?”
“Ya, untuk Madrasah Tsanawiyah kelas satu,” jawab Oncu Sanusi.
“Baiklah. silahkan ikuti saya menuju bagian administrasi,” jelas si petugas.
“Oh, ya, saya lupa. Kenalkan, nama saya Abdul, panggil saja dengan Bang Dul,” lanjutnya.
Oncu Sanusi dan Salma hanya tersenyum. Kemudian, mereka bertiga bergerak menuju bagian pendaftaran.
Bagian pendaftaran itu rupanya hanya sebuah pendopo sederhana dengan ukiran-ukiran kayu yang indah, yang membentuk motif sulur-suluran yang sangat digemari oleh Datuak Zaenal. Salma hanya bisa tersenyum kecut melihatnya.
“Assalammu ‘alaikum.”
“Wa ‘alaikumsalam. Bapak ingin mendaftar?” tanya si petugas bagian administrasi.
“Ya, untuk Madrasah Tsanawiyah kelas satu,” jawab Oncu Sanusi.
“Baiklah. Silakan lengkapi formulir ini terlebih dulu,” jelas si petugas.
Oncu Sanusi segera melengkapi formulir pendaftaran.
Nama                                    : Salma Adawiyah
Tempat, Tanggal Lahir   : Calau, 23 April 1937
Mengambil Kelas             : Satu sampai Enam (MTs sampai MA)
Nama Penjamin                               : Ahmad Sanusi
Mengambil Ekskul           : Kaligrafi
Total Biaya                          :
-          Kamar, Lemari dan Pakaian         : Rp 65
-          Ekskul                                                   : Rp 75
-          Buku dan Alat Tulis                         : Rp 5
               
 
 








“Ini dia,” ucap Oncu Sanusi akhirnya.
“Baiklah. total harga untuk bulan pertama adalah seratus empat puluh lima rupiah,” jelas si petugas.
“Ini dia. Apakah Salma boleh keluar pondok sebentar? Hanya sampai sebelum Maghrib.”

“Tentu.”
“Terima kasih. Assalammu ‘alaikum.”
“Wa ‘alaikumsalam.”
Oncu Sanusi mengajak Salma ke pusat kota untuk makan bersama yang terakhir. Salma yang kebingungan menoleh ke Oncu Sanusi.
“Umm, ang mau ajak den kemana?”
“Tenang saja. Den mau ngajak ang makan.” Oncu Sanusi menjawab santai.
Mereka mendekati sebuah warung kecil yang di depannya terdapat spanduk bertuliskan ’MIE AYAM’. Salma hanya bisa menebak-nebak apakah mi ayam itu.
“Mbak, pesan mi ayamnya dua, yang satu setengah ya!” pesan Oncu Sanusi.
Mbak-mbak itu hanya mengangguk lalu berlalu.
“Mi itu, macam apo?” tanya Salma.
“Mi itu…, makanan yang dibuat dari tepung, trus dibentuk jadi panjang-panjang macam tali, lalu direbus. Mi ayam itu maksudnya mi yang diberi daging ayam,”

Kehidupan Sehari-hari Admin

Bagaimana kalau PR dan Tugas Anda menumpuk?
Stress, bukan?
Dan itulah yang saya (Admin: Minew) rasakan.
Awalnya, sebelum hari ini, gue merasa fine-fine aja. But, setelah ada status temen sekelas gue yang berbunyi sbb:
""
Hohoho, betapa beratnya hidup ini (dengan PR yang numpuk, lebih dari cucian di rumah gue,).
Doakan gue ya, semoga nilai PR gue (setidaknya) di atas KKM. Amiin! ^_^ 

Pembukaan (emangnya UUD 45'?)

Ehm. Oke, kenalkan, nama kita (disamarkan), Minew, Bibil, dan Tata. This is our first blog ever. Which, sekarang kita sedang belajar menulis blog. Isinya? Isinya adalah kumpulan kisah-kisah yang sering dialami oleh anak-anak gaul (dan labil) seperti kita.
Oke, mungkin cukup sekian perkenalannya, karena admin Minew mau tidur.
Ciaoo!